6 April 2016
Hingga saat ini,
belum ada pabrik sampah di Indonesia. Padahal, timbunan sampah di kota-kota
besar semakin menjadi.
 |
Pekerja membersihkan
limbah sampah plastik sebelum dijual kembali ke pengepul di Desa Beji,
Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu (6/1). Limbah itu diolah
menjadi bijih plastik untuk kebutuhan industri sebelum didaur ulang menjadi
beragam produk baru sehingga pengolahan limbah plastik banyak dilakukan untuk
mengurangi dampak pencemaran lingkungan. (P Raditya Mahendra Yasa/Kompas) |
Lahan
untuk tempat pembuangan akhir (TPA) di Indonesia semakin terbatas. Pasalnya,
sampah plastik yang tidak dapat terurai memenuhi sebagian besar timbunannya.
"Tak
ada cara lain untuk menghilangkan sampah plastik, karena tak semuanya dapat
didaur ulang. Kalau pun bisa, plastik hanya boleh maksimal dua kali didaur
ulang," ujar Principal Engineer Sentra Teknologi Polimer
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Johan A. Nasiri, Selasa
(5/4/2016).
Sampai
saat ini menimbun sampah di TPA masih menjadi cara utama untuk mengumpulkan
sampah plastik. Namun, kata Johan, hal itu belum tentu efektif mengingat bisa
membawa bencana.
"Masih
ingat bencana longsor TPA di Leuwigajah yang menewaskan 157 nyawa, itu akibat
sampah yang ditimbun," lanjut Johan.
Johan
berharap Pemerintah Indonesia bisa secepatnya mencari solusi. Pemerintah
sendiri sudah mengupayakan kebijakan plastik berbayar sejak 21 Februari 2016.
Namun, statistika pengurangan penggunaan belum bisa dibandingkan.
"Satu-satunya
cara lain yang efektif, saya kira adalah melakukan pembakaran sampah,"
tambahnya.
Pembakaran
sampah yang ia katakan bukanlah dilakukan perorangan di lahan rumah. Menurut
Johan, pembakaran harus dilakukan dengan skala industri. Hal itu karena sampah
plastik memerlukan perlakuan khusus.
"Plastik
itu mengandung zat berbahaya bila dibakar. Harus ada industri dalam bentuk
pabrik sampah yang mengatur bagaimana proses pembakaran sesuai standar
keamanan," imbuhnya.
Di
antara standar keamanan, Johan menyebutkan beberapa hal yang harus
diperhatikan.
"Selain
alat, suhu yang dipakai saat pembakaran juga harus diperhatikan," terangnya.
Saat
membakar sampah kering, lanjut dia, suhu yang dibutuhkan adalah 850 sampai 1100
derajat celcius. Pembakaran itu nantinya akan menghasilkan panas uap dengan
tekanan 400 derajat celcius dan bisa menjadi produk listrik 0,67 megawatt per
jam tiap ton sampah.
Dengan
memperhatikan hal itu, sampah bisa dibakar dengan aman. Bahkan, kemungkinan
adanya hujan asam akibat yang ditakutkan bila adanya pembakaran sampah tidak
terjadi.
Sayangnya,
hingga saat ini, belum ada pabrik sampah di Indonesia. Padahal, timbunan sampah
di kota-kota besar semakin menjadi.
"Negara
tetangga saja, Singapura sudah memilikinya (pabrik sampah). Kalau di sana,
sudah ada jadwal pembakaran. Misalnya, hari ini pembakaran plastik besar,
sedangkan besok plastik kecil. Ya, kita bisa belajar dari sana," kata
Johan.
Dengan
demikian, kata Johan ini sudah saatnya kita melakukan hal yang sama.
"Kalau
kita (Indonesia) belum percaya diri (untuk membuat alat sendiri), pemerintah
bisa membeli satu saja alat dari luar (negeri) lalu tiru, dan lihat seberapa
efektif. Pak Jokowi, kita tunggu pabrik sampah di sini," ujarnya.
(Sri Noviyanti/Kompas.com)